
Program Magister Teknik Universitas Krisnadwipayana (Unkris) melakukan kegiatan Field Trip ke Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta pada 23 – 24 Juli 2022 sebagai bagian dari pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan/pelatihan, penelitian dan pengabdian keilmuan pada kehidupan masyarakat khususnya dibidang kajian pembangunan perkotaan dan wilayah. Kegiatan tersebut dikelola oleh mahasiswa S2 dengan melibatkan 12 mahasiwa S2 angkatan tahun 2020 terkait dengan ilmu penataan kawasan pesisir dan pulau kecil dan 3 orang dosen pembimbing yakni Dr. Ir. Aca Sugandhy , M. SC, Dr Kasman S. Si, M. Si dan Dr. Susetya Herawati ST, M. Si.
Kegiatan Field Trip dilakukan di Pulau Tidung sebagai salah satu pulau kecil yang berada di tengah Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Tim Unkris mencoba mengkaji apakah penataan Pulau Tidung sudah sesuai dengan fungsi zonasinya di zona perlindungan ataukah di zona pemanfaatan atau permukiman.
“Dari kajian lapangan mengenai aspek penataan ruang dan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan untuk pulau kecil, kondisi Pulau Tidung kenyataannya menunjukkan telah terbangunnya pemukiman penduduk berjumlah sekitar 5.000 kepala keluarga dan kegiatan kepariwisataan yang tidak tertata secara zonasi. Pemanfaatan ruang kawasan perumahan, perdagangan, pendidikan, tempat souvenir dan peruntukan tanah permukiman sesuai hak- hak peruntukan tanahnya tidak jelas,” tutur Dr. Ir. Aca Sugandhy, M.Sc ,Dosen Senior Prodi Magister Teknik Kajian Perkotaan dan Wilayah (KPPW) dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/7/2022).
Di samping itu tim juga menemukan fakta bahwa pelaksanaan pembangunan yang secara teknik arsitektur, kontruksi dan termasuk mitigasi dan penanggulangan bencana rob tidak mempertimbangkan ekosistem pulau kecil serta tidak memperhatikan estetika lingkungan.
Dalam kegiatan Field Trip tersebut tim juga mengkaji sistem angkutan di pulau kecil yang menggunakan sepeda kayuh, sepeda motor dan betor (becak motor). Sepeda motor dan betor yang berpotensi pada pencemaran udara dan kebisingan, bila tidak ada pengaturan berpotensi pula dapat menyebabkan kecelakaan dengan lalu lalangnya penduduk, anak-anak dan para wistawan di ruas jalan yang lebarnya 3 m dan diperkeras dengan cornblok yang layaknya untuk pedistrian (pejalan kaki),” lanjut Aca.
Landasan hukum Pengelolaan KawasanTaman Nasional Kepulauan Seribu sebagai kawasan pelestarian alam bahari yang berupa kumpulan gugusan kepulauan kecil, jelas Aca, dimulai dengan SK Menteri Pertanian No. 527/kpts/Um/7/1982 yang menetapkan wilayah seluas 108,000 hektar Kepulauan Seribu sebagai Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu. Pada tahun 1995 SK Menteri Kehutanan no 161/Kpts-II /95 menetapkan sebagai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Kemudian pada Tahun 2004 melalui keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan No. Sk 05/IV –KK/2004 menetapkan pembangian lahan seluas 4,449 ha sebagai zona inti yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kemudian zona perlindungan seluas 26,284,50 ha berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional dan zona pemanfaatan seluas 59,634,50 ha yang berfungsi sebagia pusat rekreasi dan kunjungan wisata serta zona permukiman seluas 17,121 ha sebagai peruntukan pusat pemerintahan dan dan perumahan penduduk masyarakat.
Landasan hukum pengelolaan KawasanTaman Nasional Kepulauan Seribu dalam kenyataan di lapangan kata Aca, batasannya menjadi tidak jelas untuk masing-masing fungsinya dan keberadaannya apakah di zona inti, penyangga atau zona pemanfaatannya.
Hasil kajian lapangan tim Unkris menyimpulkan perlunya review landasan hukum pengelolaan kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk memberikan kejelasan fungsi bagi setiap pulau kecilnya. Pemanfaatan ruang dan peruntukan kegiatan untuk kawasan ekowisata bahari dan zona pemukiman kampung laut dan wisata budaya Tidung dan nelayan kawasan pesisir dan pulau kecil. Di samping itu, dukungan infra struktur air bersih hasil pengolahan air laut perlu direplikasi ke pulau kecil lainnya yang sesuai fungsi zonasinya dan dijaga keberlanjutannya, integrasi sarana dan prasarana moda transport angkutan laut dan angkutan di daratan pulau kecil yang ramah lingkungan dan rendah emisi polusi udara perlu dikembangkan.
Dalam kesempatan yang sama, Dr Kasman S, Si, M.Si menjelaskan bahwa instalasi pengolahan air laut menjadi air tawar dengan Teknologi Sea Water Reserve Osmosis (SWRO) telah digunakan di beberapa Pulau di Kepulauan Seribu. Teknologi ini memanfaatkan membran Reverse Osmosis (RO) untuk memisahkan kandungan garam yang terkandung untuk didapatkan air tawar.
Pemanfaatan teknologi SWRO ini karena air tanah di wilayah Kepulauan Seribu sebagian besar bersifat payau dan debitnya berkurang secara signifikan pada saat musim kemarau. Sehingga, warga Kepulauan Seribu kerap mengalami kesulitan sumber air bersih. “Selain itu, pemanfaatan air tanah secara berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya intrusi air laut dan penurunan permukaan tanah,” tandas Kasman.